create your own banner at mybannermaker.com!

Rabu, 18 September 2019

Pokok-Pokok MasalahAtas Rancangan Undang-Undang Pertanahan

Pokok-Pokok Masalah
Atas Rancangan Undang-Undang Pertanahan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP), yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak ditujukan untuk menjawab 5 (lima) pokok krisis agraria, yakni: (1) Ketimpangan struktur agraria yang tajam; (2) Konflik agraria struktural; (3)Kerusakan ekologis yang meluas; (4) Laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian; dan (5) Kemiskinan akibat struktur agraria.
Terdapat sepuluh (10) persoalan mendasar dari RUU Pertanahan saat ini yang akan menambah laju ketimpangan khususnya menyesengsarakan petani, masyarakat pedesaan, nelayan tradisional, masyarakat adat dan kelompok marjinal. Hal tersebut adalah sbb:
1. RUU Pertanahan bertentangan dengan UUPA 1960. Meskipun dalam konsiderannya dinyatakan bahwa RUUP hendak melengkapi dan menyempurnakan hal-hal yang belum diatur oleh UUPA, akan tetapi substansinya bertentangan dengan UUPA 1960. Hal tersebut bertentangan dengan program pemerintah melanjutkan cita-cita proklamasi dan trisakti.
2. Hak Pengelolaan (HPL) dan Penyimpangan “Hak Menguasai dari Negara (HMN)”. HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domein verklaring, yang tegas dihapus UUPA 1960.
Hak menguasai dari negara yang telah ditetapkan oleh Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 telah diterjemahkan oleh RUUP secara menyimpang dan powerful menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL). Ini akan membuat Kementerian ATR/BPN memiliki kewenangan luarbiasa dan penuh ketertutupan.
3. Masalah Hak Guna Usaha (HGU). Dalam RUUP, HGU tetap diprioritaskan bagi pemodal skala besar, tidak diarahkan untuk penciptaan keadilan agrarian melalui badan usaha milik rakyat (koperasi petani, koperasi masyarakat adat, koperasi nelayan, bumdes, dan bentuk badan usaha berbasis kerakyatan lainnya). Selain itu, pembatasan maksimum konsesi perkebunan tidak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan. Masalah lainnya, RUUP bahkan mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar (perkebunan) apabila perusahaan melanggar ketentuan luas alas hak.
4. RUUP juga tidak mengatur keharusan keterbukaan informasi sehingga proses pendaftaran, perpetaan, pemberian hak, dan sebagaimana amanat UU tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Agung. Ini akan membuat azas pemerintahan yang baik tidak tercipta. Bahkan, akan menyuburkan korupsi.
5. Reforma Agraria dalam RUUP dikerdilkan menjadi sekedar program penataan aset dan akses. RUUP tidak memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, dan pendanaan negara untuk menjamin pelaksanaan RA. Padahal, RA adalah program prioritas pemerintahan Jokowi.
Untuk menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang menjadi lebih berkeadilan, mensejahterakan dan berkelanjutan, yang dilakukan secara sistematis, terstruktur serta memiliki kerangka waktu yang jelas.
6. Pembiaran Konflik Agraria. RUUP tidak mengatur bagaimana konflik agraria struktural di semua sektor hendak diselesaikan. RUUP menyamakan konflik agraria dengan sengketa pertanahan biasa, yang rencana penyelesaiannya melalui mekanisme “win-win solution” atau mediasi, dan pengadilan pertanahan. Padahal, karakter dan sifat konflik agraria struktural yang berdampak luas secara sosial, ekonomi, budaya, ekologis dan memakan korban nyawa.
7. Melembagakan Sektoralisme Pertanahan dan Pendaftaran Tanah. Pendaftaran Tanah dalam RUUP bukan merupakan terjemahan dari pendaftaran tanah yang dicita-citakan UUPA 1960 tentang kewajiban pemerintah mendaftarkan seluruh tanah di wilayah Indonesia, dimulai dengan pendaftaran tanah dari desa ke desa sehingga Indonesia memiliki data agraria yang akurat dan lengkap untuk menetapkan arah strategi pembangunan nasional berbasis agrarian, serta dalam rangka pemenuhan hak-hak agraria masyarakat.
8. Pengingkaran Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat. Konstitusi sudah dengan jelas mengakui keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, RUUP tidak memiliki langkah konkrit dalam administrasi dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat, atau yang serupa dengan itu.
9. Pembentukan Bank Tanah. RUUP bermaksud membentuk Bank Tanah/ Lembaga Pengelola Pertanahan.
Cara kerja: pemerintah dan swasta menyetorkan modal untuk Lembaga BT; BT mendapatkan tanah dari tanah negara dan membeli tanah; pada area tersebut pemerintah akan melakukan pembekuan transaksi jual-beli tanah kecuali kepada BT (land freezing); tata guna tanah akan diatur oleh BT dan pemerintah mengesahkannya melalui tata ruang; BT berwenang bekerjasama dengan pihak swasta/badan public mengelola tanah; BT memperoleh keuntungan dari proses tersebut.
Bank Tanah bertentangan dengan Konstitusi dan UUPA 1960, mengingat: (1) Sumber tanah yang akan dikelola berasal dari Tanah Negara; sementara klaim Tanah Negara atau Hutan Negara sampai saat ini masih menimbukan warisan buruk agraria nasional bagi masyarakat di bawah; (2) Mengukuhkan pasar bebas dimana tanah sebagai barang komoditi, padahal UUPA menganut asas tanah memiliki fungsi sosial.
Jika dibentuk, Bank Tanah beresiko: memperparah ketimpangan dan konflik agraria; melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan; dan meneruskan praktek spekulan tanah.
10. Membuka derasnya kepemilikan asing dalam pemilikan, pengelolaan dan pengusahaan tanah di Indonesia. Setelah perkebunan, property, RUU Pertanahan membuka penguasaan asing melalui Bank Tanah, HPL, HGU dan pemilikan rumah.
Oleh sebab itu, berdasarkan kedelapan masalah pokok di atas, maka dengan ini kami perwakilan organisasi gerakan masyarakat sipil, gerakan tani, masyarakat adat, nelayan, akademisi dan para pakar agraria menyimpulkan bahwa RUUP tidak memenuhi syarat secara filosofis, ideologis, sosiologis, historis, dan ekologis sehingga bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IX/2001 dan UUPA 1960. RUUP nyata-nyata berwatak kapitalisme neoliberal, yang akan semakin memperkuat liberalisasi pasar tanah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami menganjurkan agar ditunda pengesahannya. Ke depan, diperlukan penyusunan ulang draft UU yang lebih utuh dan matang untuk menjawab krisis agraria nasional, mampu mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat. Utamanya, RUU mengenai agraria yang sejalan dengan mandat Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IX/2001 serta UUPA 1960.
Iwan Nurdin
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar