create your own banner at mybannermaker.com!

Sabtu, 23 Januari 2016

Pemerintah Salah Urus




Pemerintah Salah Urus
Oleh Aven Januar

Harga Naik! Sembako Naik! Demikian headline beberapa media cetak nasional belakangan ini. Dengan dalih yang sama setiap tahunnya, jelang Ramadan dan Lebaran harga kebutuhan pokok meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan. Jika ditarik lebih jauh dengan dalih yang sama pada kondisi jelang Natal dan Tahun Baru masyarakat mengalami bencana yang sama yaitu harga sembako naik. Dalih tersebut telah menjadi alat pemaklum masyarakat agar tidak terjadi gejolak sosial ekonomi yang lebih jauh. Masyarakat seakan dibutakan pada kenyataan, sebagai negara agraris dengan berlimpah ruah hasil panen petani di beberapa daerah, mengapa masih ditemui melambung tingginya harga sembako. Hal ini jelas dikarenakan pemerintah salah urus, khususnya terkait dengan proses tata kelola pangan dan sembilan bahan pokok lainnya.

Jika menurut tinjauan BPS pada tahun 2009, peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan). Pada bulan Maret 2009, sumbangan garis kemiskinan pangan terhadap garis kemiskinan sebesar 73,57 persen.

Sesuai dengan hukum ekonomi dasar bahwa proses ekonomi termasuk sembako itu sebenarnya terkait dengan tiga hal utama yaitu proses produksi, Distribusi dan arus konsumsi. Yang mana dalam mengurus ketiga hal tersebut pemerintah telah salah urus. Semisal pada proses produksi, selain terkait dengan kondisi cuaca, pemerintah telah menjauhkan kemudahan-kemudahan bagi petani untuk meningkatkan produksinya.

Sebagai contoh, kebijakan pemerintah terkait dengan subsidi pupuk yang dinikmati oleh pabrik-pabrik besar, justru tidak menguntungkan petani secara langsung. Karena saat pupuk menghilang di pasaran, maka nilai keekonomian subsidi pupuk itupun larut kedalam harga pupuk yang merupakan keuntungan pabrik pupuk. Dan saat pupuk menghilang di pasaran karena permainan tengkulak, pemerintah tidak mampu mencegahnya karena rendahnya kontrol pemerintah dalam mekanisme pasar pupuk. Dalam jangka menengah hilangnya pupuk di pasaran menyebabkan efek berantai pupuk langka, harga pupuk melambung tinggi, petani mengurangi penggunaan pupuk. Dan alhasil jumlah produksi petani menurun antara 7 hingga 10 persen karena pengurangan pupuk tersebut. Ditambah dengan kondisi alam yang tidak mendukung maka kondisi petani kita semakin terpuruk.

Pada kegiatan pasca produksi pun, pemerintah telah salah urus. Bulog sebagai pengendali harga pembelian tersebut tidak pernah melahirkan harga pembelian gabah yang menguntungkan petani kecil tapi cenderung mengikuti tren petani-petani besar. Alhasil para petani kecil dalam hal ini yang memiliki lahan kurang dari dua hektar justru mengalami kerugian jika harus dibeli sesuai harga GKG Bulog.

Dengan strategi ketahanan pangan dan bukan kedaulatan pangan, pemerintah secara membabi buta melakukan kebijakan impor pada beberapa item penting sektor pangan seperti beras dan gula. Sehingga semakin memperpuruk kegiatan pasca produksi para petani.

Dari beberapa kondisi di atas, yang memberikan peluang bagi pedagang besar ataupun tengkulak mempermainkan harga sembako yang beredar. Dengan kemampuan lebih untuk peningkatan jumlah stok barang, maka jumlah barang beredar di pasaran murni dikendalikan oleh para tengkulak tersebut. Sekali lagi masyarakat Indonesia yang mengandalkan kebutuhan pokok tersebut memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap berapapun harga sembako di pasaran.

Pemerintah telah salah urus, dalam memimpin kebijakan pada sektor pangan sehingga tidak mampu lagi mengendalikan harga sembako. Karena realita telah berbicara bahwa kebutuhan pokok masyarakat Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh mekanisme pasar. Dalam jangka panjang, problem-problem kesulitan pangan akan menjadi momok yang menakutkan di usia bangsa Indonesia yang baru berusia 66 tahun ini. (*)

*) Penulis adalah Ketua Departemen Pemuda DPD PDI Perjuangan Jawa Timur dan Wakil Ketua DPD Repdem Jawa Timur.


Sumber Berita :

Keunggulan Alamiah Pasar Tradisional


Kamis, 18 Agustus 2011 diposting pada kategori ARTIKEL

Melawan Pasar Modern (bagian kedua-habis)
Keunggulan Alamiah Pasar Tradisional
Oleh Aven Januar

BERBEDA dengan pasar modern, sejatinya pasar tradisional secara komparatif memiliki keunggulan alamiah yang bersaing dan tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Pertama, Lokasi yang strategis, di kebanyakan kota khususnya di tanah jawa yang memiliki tata ruang perkotaan sisa rezim kolonial, telah menempatkan pasar tradisional pada posisi pusat kota. Posisi tersebut menjadikan pasar tradisional sebagai center of interest bagi para konsumen kelas menengah dan kelas bawah. Maksud utama dari rezim kolonial waktu itu adalah pasar sebagai kebutuhan sosial masyarakat dengan diletakkan di pusat kota yang notabene adalah pusat pemerintahan, maka pergerakan masyarakat bawah maupun isu terkini yang berkembang mudah dikontrol. Selain itu juga menegaskan posisi pusat kota sebagai pusat keramaian dan hiburan. Akan tetapi sejak era pemerintahan orde baru yang lebih mementingkan kepentingan padat modal termasuk mal-mal dan juga kepentingan bisnis lainnya, bagi pemerintahan waktu itu menilai pasar tradisional di pusat kota malah menambah permasalahan keruwetan baik lalu lintas maupun ketertiban. Maka perlahan, pemerintah daerah menempatkan kebijakan penggusuran pasar tradisional dengan dipindahkan lokasinya dipinggiran kota. Dan serangkaian penggusuran pasar tradisional terjadi di puluhan kota di pulau Jawa, dan keberadaan pasar tradisional pun mulai terpinggirkan. Perubahan tata ruang tersebut menggeser perilaku konsumen yang menuntut lokasi belanja yang lebih dekat yaitu pusat kota dan mulai meninggalkan pasar tradisional.

Keunggulan alamiah kedua pasar tradisional adalah area penjualan yang luas dengan didukung keragaman jenis barang yang dijual. Dengan jumlah pedagang pasar yang cukup banyak, menempatkan sekali lagi peninggalan kebijakan rezim kolonial yang tidak pernah membuat pasar tradisional dengan area yang sempit. Selain itu dukungan lokasi pasar yang merupakan fasilitas umum seringkali berlokasi di tanah milik Negara dan bukan milik pribadi sehingga memungkinkan untuk dibangun pasar yang berareal luas. Selain itu, sudah cukup mahfum jika di pasar memperjualbelikan berbagai jenis barang, mulai dari sayur mayor, kebutuhan sembako, kebutuhan hidup sehari-hari lainnya. Sehingga konsumen merasa dimanjakan dengan beragam kebutuhan yang dijual di pasar. Jika diperbandingkan secara langsung dengan pasar modern, seperti minimarket, memiliki kekhususan dalam jenis barang yang dijual.

Keunggulan ketiga, pada pasar tradisional dikenal sistem penjualan berdasar hari atau pasaran. Sebagai contoh di Ibukota Jakarta, masih banyak pasar tradisional yang bernamakan hari yaitu Pasar Senen, Pasar Rebo, Pasar Kemis dan Pasar Minggu. Ataupun di beberapa kota di Jawa Timur masih menggunakan nama seperti Pasar Pahing, Pasar Pon, Pasar Kliwon dan lainnya. Sistem penjualan ini dimaksudkan hari diadakannya pasar tersebut. Hal ini secara tidak langsung mengatur perilaku konsumen termasuk kebutuhan yang harus dibelinya. Pada setiap hari atau pasaran tertentu sesuai namanya akan digelar pasar besar ataupun massal yang mana jenis barang yang dijual pun menjadi ciri khas bagi pasar tradisional tersebut.

Penulis memberikan contoh di Kota Blitar, jika di Pasar Legi yang tentunya pasar besarnya setiap pasaran legi maka jenis barang yang dijual di pasar legi yang utama adalah sayur mayur, sembako dan Kebutuhan rutin bulanan seperti sabun, sikat gigi atau obat pel, selain itu juga terdapat makanan ringan seperti biskuit dan sejenisnya. Maka konsumen diarahkan pada pasaran legi untuk membeli jenis barang tersebut. Pada pasar Pahing Kota Blitar, tersedia jenis barang yang dijual adalah berbagai jenis buah, berbagai jenis ikan darat maupun laut dan berbagai jenis rempah-rempah dalam skala besar seperti jahe, lengkuas dan kunyit. Dan seterusnya. Selain itu, lokasi pasar yang berdasarkan hari atau pasaran tersebut rata-rata memiliki lokasi yang sangat berjauhan, sehingga jika setiap konsumen melakukan pembelian berurutan secara hari atau pasaran tersebut tidak menyadari bahwa telah diarahkan untuk menciptakan perputaran uang berdasar regional lokasi pasar tersebut. Sehingga arus perputaran uang tidak berpusat pada satu wilayah saja.

Revitalisasi Pasar Tradisional

Namun, selain menyandang beberapa keunggulan alamiah tersebut, pasar tradisional memiliki kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual.

Hal utama dalam menjalankan proses revitalisasi pasar tradisional adalah kebijakan pemerintah local yang didukung oleh pihak Legislatif lokal. Dalam menyusun perlindungan maupun meningkatkan peran pasar tradisional dalam proses berjalannya ekonomi masyarakat bawah perlu adanya penelitian yang serius tentang kebutuhan riil masyarakat pada daerah tersebut. Sehingga solusi tercipta karena benar-benar memenuhi perilaku konsumen dan tetap mempertimbangkan kemampuan para pedagang pasar tersebut dalam menjangkau harga los pasar yang baru.

Dalam segi fisik pasar, revitalisasi pasar tradisional dengan kondisi semi modern, awalnya Jakarta dan Surabaya menjadi pelopor. Di Surabaya contohnya, pasar Tambahrejo dan Darmo Trade Center, yang mana keduanya tetap menjaga eksistensi pasar tradisional dengan menempatkan dilantai bawah sedangkan untuk lantai 2 dan selanjutnya adalah pasar modern ataupun mal. Dalam perjalanannya konsep pasar seperti itu justru saling memberikan keuntungan dalam hal menjangkau konsumen. Konsumen diarahkan untuk one stop shopping, artinya segala jenis kebutuhan rumah tangga tersedia pada pasar tersebut. Selain juga memberikan keuntungan untuk menghindarkan keruwetan pada lalu lintas, karena gedung parkir juga tersedia.

Selain segi fisik, dalam proses revitalisasi pasar tradisional adalah pembinaan dan pemberdayaan terhadap para pedagang pasar tradisional tersebut. Diantaranya adalah dukungan terhadap akses permodalan maupun pembinaan terkait dengan jenis dan kemasan produk sehingga bisa bersaing dengan produk yang dijual oleh pasar modern. Khusus dalam akses permodalan, pemerintah daerah harus mampu membuka komunikasi yang baik dengan pihak perbankan ataupun lembaga non perbankan. Jenis pemberdayaan yang lain adalah persoalan kebersihan dan ketertiban di dalam pasar tradisional tersebut. Artinya jenis produk apapun yang dijual oleh pedagang dapatnya pedagang pasar menjaga kebersihan dan ketertiban pasar. Dan membiasakan untuk menjaga kualitas produk dengan segala peralatan yang dibutuhkan semisal, pedagang daging yang harus menggunakan kaus tangan khusus saat melayani pembeli dan lain sebagainya.

Sebagai tinjauan beberapa pemerintah daerah yang berhasil melakukan proses revitalisasi pasar tradisional dengan tolak ukur adalah pasar tradisional yang mampu bersaing dengan pasar modern antara lain Kota Solo dan Kota Blitar. Kota Solo yang merintis revitalisasi pasar dengan memulai penataan pedagang kaki lima sehingga tidak menganggu lalu lintas tetapi proses jual beli tetap berjalan dengan menata pada satu lokasi khusus dengan jaminan kebersihan dan ketertiban yang terjaga. Untuk Kota Blitar, dukungan pemerintah daerah setempat dengan memberikan akses terhadap lembaga perbankan setempat mampu menjaga konsistensi pedagang pasar untuk jumlah maupun kualitas produknya. Alhasil, kedua pemerintah daerah tersebut mampu membatasi keberadaan pasar modern dengan cara memperkuat kualitas pasar tradisional itu sendiri.

Berdasar data yang dimiliki oleh penulis pada akhir 2008 lalu Kota Blitar tercatat 11 minimarket yang ada diseluruh wilayah, saat ini hanya tinggal 7 minimarket modern yang mampu bertahan, dikarenakan ketidakmampuan bertahan menghadapi kekuatan pasar tradisional yang tidak pernah menurun jumlah pengunjungnya. Kota Solo, dengan beberapa wajah berubah menjadi modern akan tetapi perilaku konsumen setempat terhadap pasar tradisional tidak pernah surut. Sehingga kedua kota tersebut mampu meraih penghargaan atas prestasinya dalam revitalisasi pasar tradisional dan pemberdayaan pedagang pasar.

Sehingga yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah yang lain adalah niatan baik untuk memulai revitalisasi pasar tradisional dengan berbagai konsep pasar yang bisa menjadi acuan. Selamat bekerja untuk para bupati ataupun walikota di daerahnya masing-masing.(*)

Penulis adalah Ketua Departemen Pemuda DPD PDI Perjuangan Jawa Timur
Kontak Penulis :
Facebook Aven Januar

Sumber :

Pasar Tradisional vs Pasar Modern





Minggu, 14 Agustus 2011 diposting pada kategori ARTIKEL

Melawan Pasar Modern (1)
Pasar Tradisional vs Pasar Modern
Oleh: Aven Januar

MENJAMURNYA minimarket dan hypermarket di sejumlah wilayah di Jawa Timur memiliki dampak yang serius bagi perkembangan pasar tradisional. Secara tidak langsung, mempengaruhi penurunan tajam omzet para pedagang di pasar tradisional. Pasar tradisional tak memiliki daya saing yang kuat melawan pasar modern. Pasar tradisional yang terkesan kumuh, sumpek dan ketidakpastian harga menyebabkan menurunnya minat konsumen untuk membeli di pasar tradisional. Perlahan keberadaan pasar tradisional terancam keberadaannya. Belum lagi, beberapa pemerintah kabupaten atau kota lebih memilih menggusur pasar tradisional dengan dalih tata kota, kebersihan lingkungan dan menghindarkan dari macet. Alhasil puluhan pasar tradisional dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah musnah karena kebijakan penggusuran tersebut. Secara fungsi, munculnya konsepsi pasar adalah tempat berinteraksinya antar masyarakat, sebagai subsistem sosial hal tersebut menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat. Kegiatan interaksi tersebut telah menciptakan suasana yang harmonis antara pembeli dan pedagang sebagai individu dalam masyarakat. Di Indonesia, hal tersebut juga terkait dengan adat ketimuran yang menjadi proses interaksi sebagai bagian budaya silaturahmi antar warga. Pasar modern, minimarket ataupun hypermarket secara sosiologis telah memberikan dampak terhadap terciptanya masyarakat unsosial atau pribadi-pribadi yang individual karena konsepsi pasar modern tidak menciptakan ruang keberadaan proses tawar-menawar dan interaksi sebagai bagian utama. Konsumen diarahkan untuk memilih barangnya sendiri dan hanya tinggal membayar di kasir saja. Sistem sosial masyarakat telah mengalami perubahan dan tidak seimbang lagi karena fungsi pasar tradisional telah semakin berkurang.

Dari segi ekonomi, kemunculan pasar modern sangat memberikan dampak serius terhadap tatanan ekonomi masyarakat. Rantai panjang proses jual beli produk dari produsen hingga ke konsumen yang melibatkan ribuan pedagang pasar tradisional saat ini dipangkas oleh minimarket yang kemunculannya digawangi oleh para pemilik modal menengah dan besar. Secara analisis struktural ekonomi, pemutusan rantai panjang tadi menyebabkan pergeseran arus modal dan barang. Arus modal dan barangyang seharusnya melibatkan banyak komponen ekonomi masyarakat, saat ini hanya berputar pada produsen, investor pemilik minimarket dan konsumen saja. Untuk memiliki minimarket mini dengan luas areal penjualan 10 x 20 meter persegi, pemilik harus memiliki modal tertahan pada kisaran Rp 30 juta hingga Rp 50 juta untuk memiliki opsi penjualan langsung dengan diskon pada produsen. Belum lagi biaya pembangunan infrastruktur minimarket yang mencapai 30 juta hingga Rp 40 juta. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pedagang pemula di pasar tradisional yang hanya membutuhkan modal Rp 3 juta hingga Rp 5 juta untuk mendapatkan satu stan di pasar. Maka, pedagang pasar tradisional yang hendak mengalihkan angka investasi pada pasar modern sangatlah berat.

Kebijakan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota yang memberikan izin pendirian seluas-luasnya kepada pemilik minimarket, secara langsung juga memberikan tekanan terhadap keberadaan pasar tradisional. Hanya beberapa pemkab/pemkot yang menerapkan kebijakan jarak dengan pasar tradisional, akan tetapi kebijakan tersebut juga tidak mampu menyurutkan minat investor terhadap bisnis ritel yang saat ini sudah menjamur tersebut.

Kemunculan pasar modern juga didorong peralihan tren konsumtif masyarakat, dengan penilaian lebih bersih dan lebih nyaman tentu minimarket atau hypermarket menjadi pilihan utama. Soal harga, yang mana selisihnya tidak terlalu jauh dengan pasar tradisional maka konsumen pun tergiring untuk berbelanja di pasar modern. Belum lagi belakangan ini karena persaingan banyak minimarket dan hypermarket yang menggelar aksi diskon besar-besaran untuk menggiring konsumen. Menurut catatan penulis dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia pada akhir 2008 lalu konsumen pasar tradisional secara nasional pada kisaran 65%, sedangkan yang memilih pasar modern 35%. Dengan gencarnya pendirian pasar modern pada dua tahun terakhir, secara drastis perubahan terjadi konsumen pasar tradisional tinggal 55% dan pasar modern sudah mencapai 45%. Maka dalam kurun waktu lima tahun mendatang diperkirakan pembeli di pasar tradisional 'hanya' tinggal 35% hingga 40% saja.

Kemiskinan Absolut karena Pasar Modern

Pertumbuhan pasar modern atau yang sering disebut ritel modern yang selama kurun waktu 2000 hingga 2005 yang melakukan penetrasi massif pada beberapa dunia ketiga termasuk diantaranya adalah Indonesia telah dicatat oleh salah satu lembaga survey ekonomi internasional AC Nielsen pada tahun 2005 lalu. Yang mencatat bahwa membesarnya volume ritel modern di satu sisi justru melemahkan ritel tradisional. AC Nielsen mencatat pada kurun waktu yang sama lebih dari 1.200an pasar tradisional se-Asia Tenggara telah mengalami kebangkrutan, termasuk diantaranya penurunan omzet dan jumlah pedagang ritel tradisional.

Kajian terbaru Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM pada tahun 2011 menemukan bahwa ritel tradisional di Yogyakarta telah mengalami penurunan asset rata-rata sebesar 5,9%. Hasil studi penulis di Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar dalam kurun waktu 2009 hingga 2010, dikarenakan munculnya 2 minimarket di dekat pasar tradisional Wlingi telah menurunkan omzet pembelian di Pasar Wlingi hingga 7 persen setiap tahunnya dan memunculkan pengalihan profesi pedagang tradisional hingga 1 persen setiap tahunnya.

Peritel modern seperti hypermarket yang menyeruak di pusat-pusat perbelanjaan di perkotaan juga mulai menuai masalah terhadap keberadaan pedagang pasar tradisional. Secara nasional pada tahun 2007 lalu market share hypermarket yang baru mencapai 3%, pada triwulan pertama 2011 telah merebut market share hingga 5,5% dengan memacu pertumbuhan penjualan produk konsumsi hingga 17%, dan ini merupakan catatan tertinggi sebagai market share se-Asean berdasar catatan AC Nielsen.

Jika kondisi tersebut dibiarkan tanpa adanya dukungan regulasi dari pemerintah pusat terkait keberadaan ritel modern yang mengancam pedagang pasar tradisional maka dalam sepuluh tahun mendatang penulis memperkirakan akan terjadi kemiskinan absolut. 12,6 juta pedagang pasar tradisional yang tercatat di kementerian perdagangan pada akhir tahun 2010 lalu ditambah rata-rata 2 hingga 3 orang pegawai sehingga satu pedagang pasar tradisional menghidupi 4 kepala keluarga maka diperkirakan 118,2 juta menggantungkan hidupnya dari pasar tradisional tersebut. Sehingga jika penurunan asset hingga 7 persen setiap tahunnya, maka kemiskinan absolute akan tercipta di Indonesia dalam kurun waktu delapan hingga sepuluh tahun mendatang. Apakah pemerintah pusat masih tetap bergeming dengan menjamurnya peritel modern tanpa kendali regulasi? (*)

Kontak Penulis
Fb Aven Januar.

Sumber Berita :

Pravendi Januarsa : Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno











Pravendi Januarsa : Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno

……yang sebagian besar menggantungkan diri pada kerjasama dengan modal asing secara konvensionil adalah tidak sesuai dengan prinsip “Berdiri diatas kaki sendiri”…..(“Berdikari”-amanat Bung Karno dalam Pembukaan Sidang MPRS 11 April 1965)

Itulah Sedikit ramalan Bung Karno tentang kemungkinan bahwa adanya bantuan asing telah menciptakan ketidakmandirian Bangsa, serta secara tidak sadar telah menghancurkan masa depan dari suatu Bangsa yang serba tergantung tersebut. Hal ini yang harus menjadi perenungan bersama tentang Pembangunan Ekonomi yang tak terpengaruh oleh pola intervensi negara-negara kuat.

Sekarang ini sulit rasanya bagi kita untuk menghindar dari pengaruh globalisasi, hampir semua aspek kehidupan terimbas oleh globalisasi. Hal ini ditunjang juga oleh kemajuan teknologi komunikasi sehingga memungkinkan semakin hilangnya batas-batas Negara. Kemerdekaan Republik Indonesia yang diraih dengan susah payah dan pengorbanan jiwa raga pendiri Republik ini untuk mencapai kedaulatan negara justru saat ini batas-batas kedaulatan tersebut telah tersisihkan oleh arus Globalisasi.

Oleh karena itu penulis hendak mengetengahkan sebuah refleksi kritis kemunculan Globalisasi hingga jawaban kritis Bung Karno dalam penyikapan yang reflektif, evaluatif tetapi tetap memiliki kekuatan riil dalam menjawab Problem-problem utama yang muncul dalam Globalisasi. Yang terpenting adalah Bagaimana thesa Bung Karno dalam membangun kemandirian Bangsa Indonesia yang mungkin saat ini merupakan thesa dalam keterpurukan Bangsa Indonesia.

Globalisasi yang menyesatkan

Globalisasi dalam arti politik merupakan wujud dari hegemoni baru negara-negara Pemilik Modal dalam kerangka Penguasaan Negara-Negara Nirmodal. Menurut catatan Wallstreet Journal,1997 73% kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dikuasai oleh 7 Negara Kuat (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Korea Selatan dan Belanda) sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan penguasaan kepada negara-negara selatan pada sektor teknologi hingga 20 tahun kedepan. Globalisasi merupakan manifestasi dari berkembangnya sistem ekonomi pasar yang berkembang pada pertengahan tahun 1960-an yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan beberapa negara besar di Eropa Barat.

………prinsip yang harus diikuti ialah prinsip persamaan kedaulatan bagi semua bangsa, hal mana tentunya tidak lain dan tidak bukan merupakan penggunaan hak azasi manusia dan hak-hak azasi nasional. Bagi Semua Bangsa-Bangsa harus ada satu dasar, dan semua Bangsa harus menerima dasar itu, demi perlindungan dirinya dan demi keselamatan manusia…….(“To Build The World Anew”-Pidato Bung Karno dihadapan Sidang Umum PBB ke-XV 30 Spetember 1960)

Dalam hal Globalisasi ini, Bung Karno menyatakan garis-garis yang tegas dalam Hubungan Kausalitas antar negara yang terjadi, batasan itu adalah penegakan hak segala bangsa yang dinamakan Hak Azasi Manusia. Hal ini mencegah terjadinya proses kausalitas yang ekploitatif yang tidak mengindahkan adanya kedaulatan politik suatu negara.

Batas antar negara yang semakin tipis dikarenakan kemajuan arus transfer kerjasama Internasional telah menciptakan ruang-ruang baru bagi negara-negara besar untuk semakin meningkatkan pengurasan Sumber Daya Alam pada negara-negara dunia ketiga. Yang mana salah satu dari negara dunia ketiga tersebut adalah Indonesia. Warga Bangsa pun tidak menyadari pada pola negara-negara besar tersebut untuk melakukan penguasaan pada berbagai sektor. Jika ini terus berlangsung maka seterusnya kita akan tergantung kepada negara lain. Indonesia berdasar pada tahun 2000 yaitu 68% penduduknya hidup dari sektor pertanian(agraris) dan sudah seharusnya kita mampu mencukupi kebutuhan pangan kita sendiri akan tetapi sejak pertengahan tahun 1997 hingga sekarang untuk menutupi kebutuhan Beras dalam Negeri Pemerintah Indonesia harus mendatangkan Beras Impor walaupun variabel jumlahnya tidak menentu. Hal ini membuktikan bahwa ketergantungan kita pada kebutuhan pokok dari negara lain, belum lagi adanya Gula Impor dan yang lain, secara tidak sadar Bahwa Negara Adidaya telah memperdayai kita dengan cara yang sangat halus. Dan hubungan yang diciptakan oleh negara adidaya bukanlah manifestasi dari hubungan produktif melainkan hubungan yang ekploitatif. Akhirnya Indonesia negeri yang kaya raya akan “dimiskinkan” dengan berbagai cara oleh negara lain. Hal ini mengalami kemunduran yang sangat hebat, seperti apa yang telah dikatakan oleh Soekarno :

……kita sekarang bangsa yang dihormati oleh kawan-kawan kita dan disegani oleh lawan-lawan. Kita sekarang bukan hanya bangsa yang diperhitungkan tetapi kita SANGAT diperhitungkan…..(“Capailah Bintang-bintang dilangit/Tahun Berdikari”-Pidato Bung Karno Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1965)

Dalam hal penghormatan tersebut yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Bangsa yang besar, mampu membangun kepercayaan diri dalam kerjasama Internasional. Dan bukan seperti yang tergambarkan beberapa tahun belakang (khususnya sejak pertengahan 1990-an hingga saat ini) bahwa Kita dinyatakan sebagai Bangsa Peminta-minta dikarenakan pertambahan setiap tahunnya Hutang luar Negeri Kita. Artinya sudah saatnya kita kembali merenungi tentang amanat Bung Karno, membangun kembali keterpurukan kita, yang harus dinyatakan bersama oleh kebulatan tekad seluruh Rakyat Indonesia.

Trisakti Bung Karno Benteng Globalisasi

Kita semua yakin bahwa derasnya arus globalisasi kita semua tidak menginginkan implikasi buruk yang dihasilkan oleh Globalisasi seperti yang disebutkan diatas. Oleh karena itu mari kita renungi kembali Tujuan Negara yang diamanatkan oleh Pendiri Negeri dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang “asli” sebelum diamandemen khususnya alinea ke-IV ;

……kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah Darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Bangsa Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…….

Untuk mewujudkan tujuan negara tersebut, Bung Karno telah mengeluarkan amanat Pelaksanaanya yang termaktub disebut sebagai Trisakti, yaitu :
1. Berdaulat Dalam Bidang Politik;
2. Berdikari dalam Ekonomi;
3. Berkepribadian dalam Budaya;

Trisakti Bung Karno berisikan 3 hal pokok dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang mana jika para pembaca mendalami bisa menjadi pelajaran terpenting dalam melakukan antisipasi terhadap implikasi buruk yang ditimbulkan oleh Globalisasi. Dalam hal ini penulis juga tidak menginginkan adanya mitos-isasi terhadap ajaran Bung Karno, akan tetapi Penulis berusaha untuk mengajak kepada seluruh Pembaca untuk merenungi langkah terbaik ketika kita semua, Bangsa Indonesia mengalami keterpurukan selama beberapa tahun terakhir ini dan mungkin Trisakti Bung Karno adalah langkah riil yang bisa menghantarkan kita semua kedalam Kemandirian perekonomian Bangsa.

Berdaulat dalam Bidang Politik

Hampir 62 tahun lamanya Bangsa Indonesia melakukan Perjalanan Sejarah, dan dalam hal ini banyak jatuh Bangun berusaha untuk mempertahankan kedaulatan politik Republik Indonesia. Sebelum Kemerdekaan para pahlawan Bangsa Indonesia, pendiri Republik serta para pejuang nasional lainnya harus meregang nyawa untuk merebut kedaulatan politik yaitu, kemerdekaan. Saat ini Bangsa Indonesia telah memiliki kedaulatan politik yang secara de jure dan de facto sah maka sudah selayaknya kita berusaha untuk mempertahankan kedaulatan politik dari kesewenang-wenangan Bangsa Lain yang ada di seluruh dunia. Dalam artian yang jelas bahwa derasnya Globalisasi yang mampu meluluhlantakan kehormatan suatu negara, hal ini yang harus kita cegah. Karena Bung Karno sebagai salah satu pendiri Republik Ini telah menyatakan :

……kita cinta damai tetapi kita lebih cinta kemerdekaan (“Sekali Merdeka Tetap Merdeka”-Pidato Bung Karno 17 Agustus 1946)

Dalam artian pokok pikiran Bung Karno bahwa Bangsa Indonesia membuka seluas-luasnya terhadap segala bentuk kerjasama dari Negara Lain. Akan tetapi dalam pola kerjasama tersebut adalah kausalitas yang tidak eksploitatif sehingga dapatnya merusak hakekat kedaulatan Politik Republik Indonesia. Kedaulatan Politik suatu Negara adalah hal pokok dalam pendirian suatu negara, karena kedaulatan politik dilatarbelakangi oleh kontrak sosial bersama seluruh Rakyat Indonesia. Jika adanya beberapa tahun belakang ini, kita menyadari adanya intervensi asing dalam beberapa kebijakan negara khususnya dalam pengelolaan Sumber Daya Alam, hendaknya menjadi perenungan bagi seluruh Pemimpin Negara bahwa hal itu bisa menjadi ancaman yang serius terhadap kedaulatan politik kita. Kita harus menyadari bahwa kelemahan kita khususnya Sumber Daya Manusia dalam hal Pengelolaan Sumber Daya Alam, akan tetapi bukan berarti selanjutnya kita bergantung dalam hal Pengelolaan SDA terhadap Tenaga Ahli Asing. Sudah sewajarnya langkah Pemimpin Negara adalah melakukan Pembinaan yang serius terhadap Sumber Daya Manusia sehingga dapatnya menjadi Tonggak Penting penegakan Kedaulatan Politik kita. Belum Lagi pada sektor yang lain, perusahaan-perusahaan konvensional yang berdiri di belahan negeri memiliki kecenderungan yang tinggi untuk penggunaan Tenaga Ahli Asing, hal ini menjadi awal bencana Kedaulatan Politik Kita.

Bung Karno telah lama sekali meramalkan adanya Penjajahan model baru, akan tetapi karena perubahan rezim serta iklim politik yang ada maka memang diperlukan kebesaran hati kita untuk memulai bersama sebuah ide besar yang pernah terlahit di negeri ini untuk kembali meraih Kedaulatan Politik kita.

Berdikari dalam Ekonomi

……untuk membangun suatu negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka yang harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita mendirikan negara, tak mungkin kita tetap hidup……..(“Berdiri Diatas Kaki Sendiri” – Pidato Bung Karno dihadapan Sidang Umum MPRS ke-III 11 April 1965)

Amanat Politik Bung Karno mengandung pesan yang terdalam tentang kemandirian ekonomi Bangsa Indonesia. Penegakan kemandirian ekonomi tersebut merupakan cerminan upaya terbaik Negara dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berlandaskan pada kesejahteraan sosial masyarakat. Nusantara diakui oleh banyak negara tentang kekayaan alam yang tersebar dari sabang hingga merauke, dari pulau We hingga Pulau Rote. Negeri kepulauan yang mengandung Minyak Bumi, Gas Alam, Granit, Marmer, Pasir Besi, Bauksit, aspal dan lain-lain. Dari Kekayaan alam tersebut jika digunakan setinggi-tingginya demi kemakmuran rakyat seperti yang termaktub dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (asli) maka dapatnya kita memiliki kekuatan ataupun modal dasar dalam pelaksanaan Pembangunan. Seperti contoh boom minyak pada pertengahan hingga akhir 1970-an, pada saat itu kita memiliki akumulasi modal yang lumayan besar, akan tetapi karena pemerintahan pada saat itu Corrupt dan pemerintahan saat itu tidak memiliki visi untuk menjalankan amanat penderitaan rakyat maka kita pun tak bisa menghindari adanya krisis ekonomi pada awal 1980-an yang mendorong masuknya hutang luar negeri pada awal 1980-an hingga akhirnya menimbulkan krisis ekonomi pada pertengahan 1990-an dikarenakan hutang luar negeri tersebut memiliki jatuh tempo pembayaran yang sama.

Bangsa Indonesia sebagai Negara-Bangsa (Nation-State) telah memiliki kekuatan yang utama dalam hal memecahkan problem dasar perekonomian yaitu sandang dan pangan kita. Sebagai Negara Agraris, kita memiliki cukup Pangan untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi mengapa kita harus Meng-Impor Beras, jelas disitu ada praktek politik Pangan yang menjerumuskan produktivitas petani-petani kita. Belum lagi kekayaan kita terhadap SDA yang lain, tebu yang bisa menghasilkan gula serta tanaman pokok yang lain. Tetapi mengapa kita tak bisa memiliki kemandirian perekonomian, hal ini justru menjadi bertolak belakang dengan penggalian yang dalam oleh Bung Karno tentang wajah negeri Nusantara yang kaya ini.

Permasalahan Sumber Daya Manusia memang menjadi sumber permasalahan utama saat kita hendak melakukan pengelolaan Sumber Daya Alam secara mandiri. Hal ini bisa diatasi jika Pemerintahan memiliki visi yang jelas dalam menyusun kebijakan Sistem Pendidikan Nasional serta kebijakan lain yang terkait dengan Pengembangan SDM. Di tengah arus globalisasi saat ini, jika tidak segera dilaksanakan sistem pengembangan SDM yang berkesinambungan maka kita pun sebagai Bangsa akan terlibas oleh kekuatan SDM dari negara yang lain.Kita menyadari dalam perjalanan sejarah Bangsa bahwa budaya pertanian telah membangun semangat Rakyat Indonesia untuk Bekerja Keras dan Rajin, hal ini adalah modal utama dari Pengembangan SDM yang dilakukan menuju kemandirian ekonomi seperti apa yang diharapkan oleh Bung Karno. Seperti pesan Bung Karno,

……kita harus benar-benar berdiri teguh dan berpegang erat-erat pada prinsip “Berdiri diatas kaki Sendiri”, percaya pada kekuatan sendiri. Hal ini tidak bisa lain daripada keharusan untuk menjadikan kekuatan-kekuatan ekonomi kita yang riil-nyata sebagai landasan utama dalam menciptakan iklim-ekonomi yang kita perlukan…………( “Berdiri Diatas Kaki Sendiri” – Pidato Bung Karno dihadapan Sidang Umum MPRS ke-III 11 April 1965)

Berkepribadian dalam Budaya

Serangkaian serangan Budaya Asing melalui Globalisasi adalah merupakan salah satu upaya untuk menggoyang kepribadian Bangsa Indonesia. Harus kita sadari bersama bahwa dengan adanya kemajuan teknologi informasi menyebabkan transfer kebudayaan lintas negara sangat cepat dan tak dapat dihentikan. Anak-anak muda sangat rentan terhadap transfer budaya tersebut. Dimulai dari budaya pakaian hingga pola perilaku baru yang tercipta. Melalui berbagai media elektronik yang ada baik televisi maupun teknologi internet. Kita semua sebagai warga Bangsa tak menyadari bahwa itu menodai kepribadian Bangsa, padahal menurut Bung Karno kita masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat yang disebut Nation and Character Building. Bagaimana upaya untuk menciptakan Karakter khas Bangsa Indonesia. Yang terutama terbangun sejak Beratus-ratus tahun lamanya. Kebudayaan yang berkarakter kuat dan tegas serta memiliki keberpihakan yang jelas terhadap amanat penderitaan rakyat. Sebagaimana mungkin Budaya Asing yang memiliki implikasi buruk terhadap keseluruhan Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia haruslah ditolak.

Kerukunan Nasional Bangsa Indonesia yang terbangun dari susunan keseluruhan umat beragama yang ada di Indonesia. Budaya kerukunan yang anti diskriminasi berlandaskan sesuai dengan Pancasila 1 Juni 1945 yang digali oleh Bung Karno. Dalam Nation and Character Building , menjadi tanggungjawab bersama seluruh warga Bangsa Indonesia untuk menyusun kembali serpihan Budaya Nasional Indonesia. Dimulai dari gotong Royong, kerukunan nasional dan lain-lain yang merupakan wujud akar tradisi masyarakat Indonesia.

Melalui pembangunan Kepribadian Budaya kita dapat kembali mendapatkan posisi yang terhormat dalam Hubungan Internasional. Kepribadian Budaya dimulai dari lingkungan kepribadian terkecil yaitu, keluarga ataupun komunitas terkecil yang ada di dalam masyarakat.

……telah masyhur dimana-mana, sampai diluar negeri sekalipun, bahwa jiwa Gotong Royong adalah salah satu corak daripada kepribadian Indonesia. Tidak ada satu negeri dikolong langit ini yang disitu gotong royong adalah satu kenyataan hidup didesa-desa, satu living reality, seperti di Indonesia ini. Tidak ada satu bangsa yang didalam hidup-keagamaannya begitu toleran seperti Bangsa Indonesia ini…..(“Jalannya Revolusi Kita-JAREK”-Amanat Bung Karno Hari Proklamasi 17 Agustus 1960)

Bung Karno Memberi Jawaban

Ketika menghadapi keterpurukan Bangsa Indonesia, kita semua sebagai warga dari Negeri Nusantara memang harus merenungi kembali Pokok-pokok pikiran utama Bung Karno termasuk didalamnya tentang uraian yang jelas Globalisasi maupun langkah kedepan. Membangun Kemandirian Bangsa dalam cerminan mewujudkan Tujuan Negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 (asli) alinea ke-IV yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Globalisasi tak bisa dihindari akan tetapi globalisasi bisa dilunakkan. Membangun Semangat Bersama untuk kemandirian Bangsa. Wassalam.


Contact Penulis : avenjatim@gmail.com

Riwayat Organisasi :
1998-2000 Ketua Solidaritas Mahasiswa untuk Pembebasan Rakyat (SMPR)
2001-2002 SekJen BEM FISIP UNAIR
2002-2003 Presidium Nasional Komite Pendidikan Bersama Indonesia (KPBI)
2004-2005 Presidium Komite Mega Rakyat Jawa Timur (KMR)
2010 - 2015 Ketua Departemen Pemuda DPD PDI Perjuangan Jawa Timur

Sumber Berita :

Tahun Perlawanan 2012



Senin, 23 Januari 2012 diposting pada kategori ARTIKEL

Tahun Perlawanan 2012
Oleh Aven Januar

HAMPIR sebulan tahun 2012 terlewati, tapi berbagai gambaran kebijakan pemerintahan SBY belum menyentuh kebijakan yang Pro Rakyat. Rakyat diresahkan dengan usulan pembatasan hingga penghapusan subsidi BBM, memungkinkan melambungnya harga sembako sepanjang tahun 2012. Pada akhir tahun 2011 lalu, rakyat dihantui berbagai tindakan kekerasan aparat seperti di Mesuji, Lampung dan Bima NTT. Menguatnya negara dengan bingkai kekerasan perlahan menyebabkan melemahnya penguatan civil society.

Dalam bingkai nasionalisme, penguatan negara seharusnya dibarengi dengan penguatan civil society dalam wujud nyata adalah pemerintah haruslan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan beradab. Didorong kondisi krisis ekonomi yang belum berakhir aksi tindakan kekerasan negara terhadap rakyat telah melahirkan situasi yang serba tidak menentu atau yang biasa disebut turbulence situation.

Pada situasi seperti ini yang umum terjadi adalah melambungnya harga sembako, menghilangnya sembako dari pasaran, aksi kriminalitas dan menghilangnya jaminan rasa aman masyarakat, rendahnya investasi dalam berbagai jenis usaha, peningkatan jumlah pengangguran terbuka dan berbagai keresahan sosial yang lainnya.

Maka ada dua catatan ideologis yang menjadi penting bagi kaum marhaenis adalah mengembalikan arah dan tujuan negara pada terwujudnya masyarakat adil, makmur dan beradab. Sehingga jika adanya kebijakan negara yang justru menjauhkan arah dan tujuan negara sudah seharusnya untuk dilawan.

Kebijakan yang secara jelas merusak arah dan tujuan berbangsa tersebut antara lain kebijakan Impor bahan pangan, kebijakan penghapusan Subsidi ВВМ. Serta peningkatan gaji PNS yang tidak dibarengi peningkatan kualitas kerja, tapi hanya cenderung berorientasi politis pada upaya mencari legitimasi dukungan pada pegawai negeri sipil untuk tidak melakukan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal pemerintahan SBY-Boediono.

Catatan ideologis yang kedua adalah penguatan barisan rakyat atau yang umum disebut pengorganisiran kekuatan rakyat. Yang mana kekuatan tersebut bisa melalui apa saja partai politik, organisasi massa ataupun kelompok apapun yang bertujuan untuk melakukan penguatan civil society. Sehingga bisa melahirkan kekuatan rakyat secara nasional dalam menandingi kekuatan borjuasi nasional dalam hal ini pemerintah yang bekerjasama dengan aparat keamanan dengan legitimasi partai demokrat dan partai pendukung pemerintahan.

Kedua hal diatas merupakan langkah taktis strategis dalam upaya menolak dan melawan segala kebijakan Pemerintahan Neoliberal SBY-Boediono. Serta menjadi refleksi bersama bagi seluruh gerakan-gerakan perlawanan sektoral seperti gerakan petani, pemuda, mahasiswa dan buruh untuk menjadikan Tahun 2012 sebagai Tahun Perlawanan. Selamat Berjuang ! (*)

Aven Januar - Ketua Departemen Pemuda DPD PDI Perjuangan Jatim 2010 - 2015

Sumber Berita :

Meretas Jalan Kesejahteraan Rakyat


Selasa, 16 Oktober 2012 diposting pada kategori ARTIKEL

Meretas Jalan Kesejahteraan Rakyat
Oleh : Aven Januar

BERAKHIR sudah perhelatan besar Rakernas II PDI Perjuangan yang digelar sejak 12 hingga 14 Oktober 2012 lalu. Beberapa catatan media cetak maupun elektronik beranggapan anti klimaks pada beberapa poin rekomendasi Rakernas yang tidak menyebutkan beberapa isu 'seksi' dalam gelaran rakernas kali ini yaitu bakal calon presiden 2014 yang diusung PDI Perjuangan maupun isu 'seksi' tingkat lokal yaitu bakal calon gubernur Jawa Timur 2013 mendatang.

Mau tidak mau, sebagai salah satu partai besar di negeri ini, PDI Perjuangan dituntut mampu memenuhi ekspetasi publik terhadap beberapa isu 'seksi' tersebut. Akan tetapi publik pun harus bisa memahami sebagai partai besar, PDI Perjuangan memiliki banyak tantangan kedepan. Tantangan terbesar saat ini adalah konsolidasi internal dalam pemenuhan prasyarat penjaringan calon legislatif, beberapa tahapan pilkada sepanjang tahun 2013 dan target kaderisasi partai. Maka tak salah jika lahirlah 17 poin rekomendasi rakernas, yang mana hampir 75% diantaranya terkait dengan proses internalisasi PDI Perjuangan menuju kemenangan 2014.

Situasi internal PDI Perjuangan jelang gelaran rakernas II adalah yang pertama kesiapan partai menghadapi tiga pilkada besar yaitu Pilkada Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keberhasilan pasangan Jokowi-Basuki pada pilkada DKI terhadap pasangan petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menjadikan pelajaran penting bagi PDI Perjuangan untuk merebut pilkada dengan jumlah suara pemilih besar seperti tiga provinsi di Jawa lainnya. Tantangan terberat muncul dari Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang mana kemungkinan besar PDI Perjuangan akan melawan calon petahana yang jauh berbeda dengan Fauzi Bowo yang setahun belakangan mulai ditinggalkan oleh masyarakat DKI.

Jika PDI Perjuangan menghendaki kemenangan di Pilkada Jawa Barat dan Jawa Timur, tidak sekadar perbaikan kinerja mesin partai, tapi belajar dari kehadiran figur Jokowi yang mampu mensinergikan mesin partai dan mesin relawan masyarakat perlu menjadi catatan serius bagi PDI Perjuangan. Dan harus mengembalikan semangat ideologis dalam menjaring calon kepala daerah, bukan semata untuk kemenangan pribadi calon.

Kepala daerah terpilih dari PDI Perjuangan, harus dapat memperjuangkan aspirasi rakyat, dengan menggunakan idioms "Menangis dan Tertawa bersama Rakyat". Idioms tersebut setidaknya menjadi pesan kuat terhadap kepala daerah terpilih untuk membentuk pemerintahan pro rakyat di banyak daerah.

Yang kedua, kesiapan PDI Perjuangan dalam menyiapkan kader-kader terbaiknya dalam proses penjaringan dan penetapan calon legislatif. Dalam berbagai hasil survey, jika pemilu dilaksanakan hari ini suara PDI Perjuangan diperkirakan masih di atas 12 juta suara pemilih.

Menjadi beban psikologis bagi kader-kader PDI Perjuangan untuk mampu mewujudkan kemenangan tersebut. Karena itu PDI Perjuangan memerlukan suatu perbaikan khususnya terkait mekanisme penjaringan calon.

Sekjen DPP PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, mengisyaratkan beberapa waktu lalu 25% diantara jumlah keseluruhan caleg nantinya merupakan tokoh masyarakat di daerah pemilihan masing-masing. Kebijakan merekrut tokoh masyarakat bisa merupakan pisau bermata dua, di satu sisi kehadiran tokoh masyarakat diharapkan mampu mendulang suara, akan tetapi disisi lain juga akan melahirkan permasalahan internalisasi partai.

Yang ketiga, besarnya ekspetasi masyarakat terhadap PDI Perjuangan pasca kemenangan Jokowi. Seperti kita lihat portofolio Jokowi di Kota Solo telah melahirkan harapan-harapan baru bagi masyarakat khususnya persoalan agenda-agenda kerakyatan. PDI Perjuangan perlu untuk melakukan evaluasi terhadap keseluruhan kinerja eksekutif daerah yang berasal dari kader internal partai. Keberhasilan Jokowi yang mampu mengubah wajah kota Solo sebagai kota budaya dunia, keberhasilan pembangunan ekonomi di Solo melalui pemeliharaan pedagang pasar tradisional dan banyak lagi merupakan best practices bagi eksekutif daerah dari PDI Perjuangan. Dengan proses transformasi demokrasi pada pilkada DKI lalu, dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substantif, perlu menjadi kajian khusus PDI Perjuangan. Walaupun secara kondisi dan situasi tiap kota atau kabupaten atau provinsi masing-masing wilayah memiliki karakteristik masing-masing, tetapi dapat ditarik benang merah adalah bagaimana seorang kepala daerah mampu secara apik mengartikulasikan kepentingan-kepentingan rakyat.

Dan apa yang dilakukan Jokowi di Solo menjadi miniatur bagi keberhasilan kepemimpinan lokal. Yang keempat, belum berjalannya secara optimal agenda kaderisasi partai. Ditengah proses demokrasi substantif, dituntut kemampuan kader partai yang mumpuni. Dalam hal ini, terkait dengan tindakan dalam menjawab strategi dan taktik partai di lapangan. PDI Perjuangan merupakan salah satu partai tradisional yang memiliki kepengurusan hingga ke tingkat rukun warga, sudah seharusnya memiliki ribuan kader ideologis partai yang bergerak aktif ditengah masyarakat. Selain itu, rendahnya kualitas kader dapat menjadi permasalahan panjang terkait dengan komunikasi antar jenjang kepengurusan yang berujung pada konflik internal. Rendahnya kualitas kader juga mempengaruhi proses sosialisasi program-program partai kepada khalayak umum. Dalam semangat yang mengemuka pada saat Kongres III 2010 lalu, dinyatakan bahwa PDI Perjuangan adalah partai ideologis yang modern, maka persoalan-persoalan kaderisasi berjenjang menjadi sangat penting.

Yang kelima, belum tersosialisasikannya secara baik isu-isu kerakyatan yang diperjuangkan PDI Perjuangan baik melalui kursi legislatif maupun kursi eksekutif daerah. Dalam pilkada DKI lalu misalnya, kita semua bisa mengerti ketika ada salah satu pihak yang mengklaim kemenangan Jokowi adalah hasil jerih payahnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Hal itu dikarenakan kegagalan kader-kader PDI Perjuangan dalam menyosialisasikan melalui skema informasi dan komunikasi partai kepada khalayak umum. PDI Perjuangan belum secara optimal menggunakan alat komunikasi modern seperti televisi, media cetak ataupun bahkan jejaring sosial media. Khusus sosial media, perlu menjadi perhatian serius PDI Perjuangan, seperti halnya kemenangan Jokowi di DKI tak bisa terlepas dari keberhasilan tim relawan sosial media Jokowi-Ahok.

Kelima tantangan diatas, menjadi bagian penting dalam road map PDI Perjuangan menghadapi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 mendatang. Kemenangan beruntun PDI Perjuangan terhadap berbagai pilihan kepala daerah di pertengahan 2012 ini menjadi bekal dalam menghadapi tantangan yang jauh lebih besar. Proses pemilihan kepala daerah hanyalah sasaran antara dalam mencapai targetan yang jauh lebih tinggi, yaitu perwujudan pilihan ideologi Pancasila 1 Juni yaitu Berjuang untuk kesejahteraan rakyat. 17 Poin rekomendasi rakernas sudah sebagian besar menyatakan kehendak dan pilihan PDI Perjuangan sebagai partai ideologis yang meretas jalan kesejahteraan rakyat. (*)

*) penulis adalah Ketua Departemen Pemuda DPD PDI Perjuangan Jawa Timur

FB penulis: Aven Januar

Sumber Berita : http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=6190http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=6190