create your own banner at mybannermaker.com!

Sabtu, 23 Januari 2016

Pasar Tradisional vs Pasar Modern





Minggu, 14 Agustus 2011 diposting pada kategori ARTIKEL

Melawan Pasar Modern (1)
Pasar Tradisional vs Pasar Modern
Oleh: Aven Januar

MENJAMURNYA minimarket dan hypermarket di sejumlah wilayah di Jawa Timur memiliki dampak yang serius bagi perkembangan pasar tradisional. Secara tidak langsung, mempengaruhi penurunan tajam omzet para pedagang di pasar tradisional. Pasar tradisional tak memiliki daya saing yang kuat melawan pasar modern. Pasar tradisional yang terkesan kumuh, sumpek dan ketidakpastian harga menyebabkan menurunnya minat konsumen untuk membeli di pasar tradisional. Perlahan keberadaan pasar tradisional terancam keberadaannya. Belum lagi, beberapa pemerintah kabupaten atau kota lebih memilih menggusur pasar tradisional dengan dalih tata kota, kebersihan lingkungan dan menghindarkan dari macet. Alhasil puluhan pasar tradisional dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah musnah karena kebijakan penggusuran tersebut. Secara fungsi, munculnya konsepsi pasar adalah tempat berinteraksinya antar masyarakat, sebagai subsistem sosial hal tersebut menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat. Kegiatan interaksi tersebut telah menciptakan suasana yang harmonis antara pembeli dan pedagang sebagai individu dalam masyarakat. Di Indonesia, hal tersebut juga terkait dengan adat ketimuran yang menjadi proses interaksi sebagai bagian budaya silaturahmi antar warga. Pasar modern, minimarket ataupun hypermarket secara sosiologis telah memberikan dampak terhadap terciptanya masyarakat unsosial atau pribadi-pribadi yang individual karena konsepsi pasar modern tidak menciptakan ruang keberadaan proses tawar-menawar dan interaksi sebagai bagian utama. Konsumen diarahkan untuk memilih barangnya sendiri dan hanya tinggal membayar di kasir saja. Sistem sosial masyarakat telah mengalami perubahan dan tidak seimbang lagi karena fungsi pasar tradisional telah semakin berkurang.

Dari segi ekonomi, kemunculan pasar modern sangat memberikan dampak serius terhadap tatanan ekonomi masyarakat. Rantai panjang proses jual beli produk dari produsen hingga ke konsumen yang melibatkan ribuan pedagang pasar tradisional saat ini dipangkas oleh minimarket yang kemunculannya digawangi oleh para pemilik modal menengah dan besar. Secara analisis struktural ekonomi, pemutusan rantai panjang tadi menyebabkan pergeseran arus modal dan barang. Arus modal dan barangyang seharusnya melibatkan banyak komponen ekonomi masyarakat, saat ini hanya berputar pada produsen, investor pemilik minimarket dan konsumen saja. Untuk memiliki minimarket mini dengan luas areal penjualan 10 x 20 meter persegi, pemilik harus memiliki modal tertahan pada kisaran Rp 30 juta hingga Rp 50 juta untuk memiliki opsi penjualan langsung dengan diskon pada produsen. Belum lagi biaya pembangunan infrastruktur minimarket yang mencapai 30 juta hingga Rp 40 juta. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pedagang pemula di pasar tradisional yang hanya membutuhkan modal Rp 3 juta hingga Rp 5 juta untuk mendapatkan satu stan di pasar. Maka, pedagang pasar tradisional yang hendak mengalihkan angka investasi pada pasar modern sangatlah berat.

Kebijakan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota yang memberikan izin pendirian seluas-luasnya kepada pemilik minimarket, secara langsung juga memberikan tekanan terhadap keberadaan pasar tradisional. Hanya beberapa pemkab/pemkot yang menerapkan kebijakan jarak dengan pasar tradisional, akan tetapi kebijakan tersebut juga tidak mampu menyurutkan minat investor terhadap bisnis ritel yang saat ini sudah menjamur tersebut.

Kemunculan pasar modern juga didorong peralihan tren konsumtif masyarakat, dengan penilaian lebih bersih dan lebih nyaman tentu minimarket atau hypermarket menjadi pilihan utama. Soal harga, yang mana selisihnya tidak terlalu jauh dengan pasar tradisional maka konsumen pun tergiring untuk berbelanja di pasar modern. Belum lagi belakangan ini karena persaingan banyak minimarket dan hypermarket yang menggelar aksi diskon besar-besaran untuk menggiring konsumen. Menurut catatan penulis dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia pada akhir 2008 lalu konsumen pasar tradisional secara nasional pada kisaran 65%, sedangkan yang memilih pasar modern 35%. Dengan gencarnya pendirian pasar modern pada dua tahun terakhir, secara drastis perubahan terjadi konsumen pasar tradisional tinggal 55% dan pasar modern sudah mencapai 45%. Maka dalam kurun waktu lima tahun mendatang diperkirakan pembeli di pasar tradisional 'hanya' tinggal 35% hingga 40% saja.

Kemiskinan Absolut karena Pasar Modern

Pertumbuhan pasar modern atau yang sering disebut ritel modern yang selama kurun waktu 2000 hingga 2005 yang melakukan penetrasi massif pada beberapa dunia ketiga termasuk diantaranya adalah Indonesia telah dicatat oleh salah satu lembaga survey ekonomi internasional AC Nielsen pada tahun 2005 lalu. Yang mencatat bahwa membesarnya volume ritel modern di satu sisi justru melemahkan ritel tradisional. AC Nielsen mencatat pada kurun waktu yang sama lebih dari 1.200an pasar tradisional se-Asia Tenggara telah mengalami kebangkrutan, termasuk diantaranya penurunan omzet dan jumlah pedagang ritel tradisional.

Kajian terbaru Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM pada tahun 2011 menemukan bahwa ritel tradisional di Yogyakarta telah mengalami penurunan asset rata-rata sebesar 5,9%. Hasil studi penulis di Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar dalam kurun waktu 2009 hingga 2010, dikarenakan munculnya 2 minimarket di dekat pasar tradisional Wlingi telah menurunkan omzet pembelian di Pasar Wlingi hingga 7 persen setiap tahunnya dan memunculkan pengalihan profesi pedagang tradisional hingga 1 persen setiap tahunnya.

Peritel modern seperti hypermarket yang menyeruak di pusat-pusat perbelanjaan di perkotaan juga mulai menuai masalah terhadap keberadaan pedagang pasar tradisional. Secara nasional pada tahun 2007 lalu market share hypermarket yang baru mencapai 3%, pada triwulan pertama 2011 telah merebut market share hingga 5,5% dengan memacu pertumbuhan penjualan produk konsumsi hingga 17%, dan ini merupakan catatan tertinggi sebagai market share se-Asean berdasar catatan AC Nielsen.

Jika kondisi tersebut dibiarkan tanpa adanya dukungan regulasi dari pemerintah pusat terkait keberadaan ritel modern yang mengancam pedagang pasar tradisional maka dalam sepuluh tahun mendatang penulis memperkirakan akan terjadi kemiskinan absolut. 12,6 juta pedagang pasar tradisional yang tercatat di kementerian perdagangan pada akhir tahun 2010 lalu ditambah rata-rata 2 hingga 3 orang pegawai sehingga satu pedagang pasar tradisional menghidupi 4 kepala keluarga maka diperkirakan 118,2 juta menggantungkan hidupnya dari pasar tradisional tersebut. Sehingga jika penurunan asset hingga 7 persen setiap tahunnya, maka kemiskinan absolute akan tercipta di Indonesia dalam kurun waktu delapan hingga sepuluh tahun mendatang. Apakah pemerintah pusat masih tetap bergeming dengan menjamurnya peritel modern tanpa kendali regulasi? (*)

Kontak Penulis
Fb Aven Januar.

Sumber Berita :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar